Industri perbankan pun langsung berekasi usai keluarnya aturan tersebut. Seragam, para bankir menolak. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Suprajarto berharap kepada pemerintah untuk menimbang kembali kebijakan wajib lapor data dan informasi kartu kredit nasabah karena dikhawatirkan memicu kegaduhan.
"Mudah-mudahan oleh pemerintah bisa dipikirkan kembali untuk tidak dalam waktu dekat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Dihubungi terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja tak ingin berspekulasi dengan dampak dari kebijakan tersebut.
Dia akan menunggu masukan dari nasabah atas rencana Ditjen Pajak mengintip data kartu kredit untuk tagihan paling sedikit Rp 1 miliar setahun.
"Ini belum dapat masukan dari nasabah, kami tidak mau mengada-ada. Gaduh atau tidaknya kalau sudah betul-betul ada komplain dari nasabah, baru kami bisa komen berdasarkan fakta. Jadi nanti kita tanya lebih detail ke nasabah," jelas Jahja.
Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan kebijakan ini akan menimbulkan kekhawatiran para pengguna kartu kredit dan juga nasabah yang berencana membuka kartu kredit.
"Ya seperti sebelumnya, ketakutan seperti sebelumnya, masyarakat enggan menggunakan lagi kartunya. Dan ini akan berdampak kembali meningkatnya transaksi tunai," tegas Steve kepada Liputan6.com.
Dikatakan, saat ini penggunaan kartu kredit setiap tahunnya mengalami peningkatan. Ini juga terjadi sering upaya digalakkannya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Per 2017, total jumlah kartu kredit yang beredar mencapai 17 juta kartu.
Meski aturan tersebut sudah diteken Menteri Keuangan, Steve mengaku pihak asosiasi belum diajak diskusi mengenai implementasi aturan baru tersebut. Namun sore ini Asosiasi akan berdiskusi dengan pihak DJP mengenai hal itu.
Steve mengaku, apabila aturan tersebut memiliki batasan dimana yang akan diserahkan ke DJP adalah transaksi kartu kredit minimal Rp 1 miliar per tahun, pihaknya cukup mengapresiasinya.
"Kalau memang ada trasehold Rp 1 miliar itu lebih bagus, artinya tidak semua transaksi dilaporkan, jadi masyarakat tidak perlu khawatir," ujarnya.
Hanya saja, dirinya berharap kepada pemerintah untuk bisa mengkomunikasikan mengenai teknis aturan tersebut secara menyeluruh. Dengan demikian tidak menimbulkan kesimpang siuran informasi di masyarakat, yang ujungnya mempengaruhi bisnis perbankan.
Dalam beleid PMK 228, ada 23 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit yang wajib lapor ke Ditjen Pajak, yakni: Pan Indonesia Bank, Ltd.Tbk, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank MNC Internasional, PT Bank ICBC Indonesia, PT Bank Maybank Indonesia Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Adapula PT Bank Mega Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT BNI Syariah, PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank Permata Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, PT Bank Sinarmas, PT Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, The Hongkong & Shanghai Banking Corp (HSBC), PT Bank QNB Indonesia, Citibank N.A, dan PT AEON Credit Services.
Baca Di sini http://bisnis.liputan6.com/read/3259423/headline-ditjen-pajak-intip-kartu-kredit-incar-siapa
No comments:
Post a Comment