JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Soesilo Aribowo menilai, kliennya tersebut seharusnya tidak dikenai sanksi pidana.
Menurut Soesilo, kerugian negara akibat investasi belum tentu tergolong sebagai perbuatan pidana korupsi.
"Yang jelas, pertanggungjawaban pidana mesti ada niat jahatnya. Tapi sampai sejauh ini tidak ada sesuatu yang diperoleh Bu Karen dalam investasi," ujar Soesilo saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (25/9/2018).
Baca juga: Kejagung Tahan Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan
Karen Agustiawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik Kejaksaan Agung sejak 22 Maret 2018.
Pada 24 September 2018, Karen ditahan oleh penyidik Kejagung.
Karen disangka terlibat dalam kasus dugaan korupsi investasi perusahaan di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Kasus ini terjadi pada 2009, saat Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai 31 juta dollar AS.
Baca juga: Ini Dugaan Penyimpangan yang Dilakukan Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar 26 juta dollar AS.
Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari.
Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Kejagung menduga ada penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG.
Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir.
Diduga, direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar 31 juta dollar AS dan 26 juta dollar AS atau setara Rp 568 miliar.
Tak bisa dipidana
Menurut Soesilo, kasus yang dialami Karen ini merupakan business judgment rule, di mana direksi mendapat perlindungan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu konsekuensi.
Hal itu berlaku apabila tindakan direksi didasarkan pada itikad baik dan kehati-hatian.
"Seharusnya, kalau memang Dewan Komisaris keberatan ketika itu dan sudah telanjur, semestinya berikan solusi atau berhentikan sementara direksi itu. Tapi kenyataannya enggak, justru diminta divestasi, itu yang rada aneh," kata Soesilo.
Menurut Soesilo, keputusan direksi sebenarnya diawali persetujuan komisaris dan kajian kelayakan.
Namun, hanya berselang beberapa saat setelah direksi membuat keputusan, dewan komisaris menolak.
"Hari itu juga selisih beberapa jam, direksi menerima pemberitahuan bahwa komisaris tidak setuju. Ini kan aneh, tidak bisa dicabut mendadak begitu saja," kata Soesilo.
Selain itu, menurut Soesilo, apapun yang dialami dari investasi tersebut seharusnya merupakan risiko korporasi.
Sehingga, tidak dapat serta merta kerugian akibat investasi dianggap sebagai kerugian negara.
Baca Di sini https://nasional.kompas.com/read/2018/09/25/15545801/pengacara-karen-agustiawan-seharusnya-tak-dipidana
No comments:
Post a Comment