Kewajiban perbankan untuk menyampaikan data nasabah kartu kredit kembali dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Aturan tersebut mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain menyampaikan data dan informasi berkaitan dengan perpajakan. Hal ini, antara lain, juga berlaku pada perbankan dan lembaga keuangan penerbit kartu kredit yang diwajibkan membuka data nasabah. Data yang disampaikan bersumber dari surat tagihan (billing statement) nasabah kartu kredit.
Data dan informasi yang diminta tersebut berupa data transaksi nasabah yang bersumber dari billing statement atau surat tagihan kartu kredit nasabah. Data dan informasi tersebut paling sedikit memuat nama bank, nomer rekening kartu kredit, ID dan nama merchant. Kemudian nama, alamat, NIK/nomor paspor, dan NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, pagu kredit, serta tanggal, rincian, dan nilai transaksi.
Sesuai dengan lampiran aturan tersebut penyampaian data dan informasi tersebut harus disampaikan secara bulanan. Sebenarnya, penyampaian data ini semula wajib disampaikan paling lambat 31 Mei 2016, tetapi akhirnya ditunda oleh DJP.
Adapun bank dan lembaga penyelenggara kartu kredit yang ada saat ini dan diminta menyampaikan data dan informasi tersebut terdiri dari Bank Panin, Bank ANZ, Bank Bukopin, BCA, Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, Bank MNC, Bank ICBC Indonesia, Bank Mandiri. Kemudian Bank Mega, BNI, BNI Syariah, Bank OCBC NISP, Bank Permata, BRI, Bank Sinarmas, Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, HSBC, Bank QNB Indonesia, Citibank N.A, serta AEON Credit Services.
Khusus Limit Rp100 Juta ke Atas
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis menyebut, kewajiban ini sebenarnya bukan lah hal baru dan sah untuk dilakukan DJP, mengingat data kartu kredit tak termasuk dalam klasifikasi rahasia menurut Undang-Undang Perbankan. Ia pun menilai, data transaksi kartu kredit dapat menjadi salah satu data untuk profiling penghasilan wajib pajak melalui pendekatan konsumsi.
"Hasil profiling dapat menjadi salah satu sarana meningkatkan basis pajak dan kepatuhan pajak melalui analisis yang memadai," terang Yustinus.
"Kami mengusulkan seluruh KK dengan limit Rp100 juta ke atas wajib dilaporkan ke DJP. Batas yang terlalu tinggi justru dikhawatirkan tidak optimal untuk tujuan intensifikasi dan ekstensifikasi," jelas dia.
Yustinus pun menyarankan, sebelum memberlakukan aturan ini, DJP harus mencermati situasi dan kondisi ekonomi. Pemberlakuan aturan juga harus didahului dengan pembuatan sistem, Standar Operasional Prosedur (SOP), tata cara pemanfaatan yang jelas, mudah, dan akuntable.
"Persepsi dan kekhawatiran yang muncul harus diantisipasi karena dapat memicu penurunan KK dan pada gilirannya merugikan perekonomian nasional," tambah dia. (agi)
Baca Di sini https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180205162659-78-273939/sri-mulyani-kembali-incar-data-nasabah-kartu-kredit
No comments:
Post a Comment