Industri keuangan di Indonesia juga cukup kuat menghadapi pelemahan rupiah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan koridor aturan agar industri perbankan memiliki ketahanan yang kuat dalam menyikapi tekanan dari perekonomian global.
Salah satu aturan yang menguatkan ketahanan tersebut adalah POJK No.6/ POJK.03/2018 tentang Perubahan atas POJK Nomor 7/POJK.03/2016 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, peraturan ini diharapkan dapat lebih mendorong bank melaksanakan kegiatan structured product khususnya call spread option di pasar valas dalam negeri yang pada gilirannya akan membantu memperdalam pasar derivatif di Indonesia.
“Ini merupakan wujud nyata dari komitmen dan dukungan OJK terhadap upaya pendalaman pasar keuangan melalui upaya mendorong transaksi structured product di dalam negeri,” kata dia.
Wimboh melanjutkan, kondisi industri perbankan masih tetap solid dan memiliki ketahanan yang kuat dalam menyikapi tekanan dari perekonomian global.
Rasio-rasio keuangan menunjukkan hal yang positif antara lain terlihat dari permodalan dan likuiditas yang kuat, dengan CAR bulan Maret lalu mencapai 22,67 persen.
Profitabilitas perbankan juga terjaga dengan ROA sebesar 2,55 persen, ditopang oleh perbaikan efisiensi yaitu rasio BOPO yang menurun ke level 78,76 persen.
Risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas berada pada level yang manageable. Rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan menunjukkan perbaikan, tercatat sebesar 2,75 persen.
Pelemahan rupiah ini tentu juga akan berdampak kepada utang pemerintah. Tekanan terhadap mata uang Garuda ini berdampak pada pembengkakan nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp 10,9 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total outstanding utang pemerintah sampai dengan Maret 2018 sebesar Rp 4.136,39 triliun. Dari jumlah itu, utang pemerintah dalam valuta asing (valas) sebesar USD 109 miliar.
Sementara itu, kurs rupiah masih bergejolak dan saat ini berada di posisi 13.888 per dolar AS, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR.
Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Erwin Ginting, menjelaskan, pelaporan posisi utang pemerintah RI di akhir periode tertentu menggunakan nilai tukar pada saat itu.
"Jadi untuk outstanding per akhir Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136 triliun dengan komponen utang valas USD 109 miliar, sudah menggunakan kurs sekitar Rp 13.750 per dolar AS," ujarnya kepada Liputan6.com.
Menurutnya, pembayaran utang oleh pemerintah menggunakan nilai tukar saat itu atau saat transaksi. Namun, beban pemerintah dalam membayar utang bisa lebih ringan karena ada penerimaan dalam mata uang asing.
"Pemerintah kan punya penerimaan dari valas. Kalau ada penerimaan valas US$ 500 juta, secara pengelolaan kas pemerintah bisa dipakai untuk bayar utang US$ 500 juta. Ini yang namanya natural hedging (lindung nilai natural), sehingga rugi kurs bisa dikelola," katanya.
Baca Di sini https://www.liputan6.com/bisnis/read/3491409/headline-rupiah-terkoreksi-ekonomi-ri-aman
No comments:
Post a Comment