"Asumsi suku bunga yang kami gunakan adalah suku bunga pasar dengan mempertimbangkan berbagai risiko ke depan," ujar Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Retno Ponco Windarti dalam Seminar Dampak Rileksasi LTV Bagi Sektor Properti dan Perbankan' di Jakarta, Selasa (31/7).
Retno mengungkapkan tren kenaikan suku bunga tidak dapat dihindari di tengah perkembangan pasar keuangan global.
Karena itu, bank sentral menerbitkan kebijakan penyeimbang untuk mendorong permintaan kredit, salah satunya melalui relaksasi kebijakan uang muka (down payment/DP) dengan menerbitkan aturan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV).
"Agak berat untuk menjamin suku bunga tidak naik lagi," ujarnya.
Salah satu bentuk relaksasinya, per 1 Agustus 2018, BI menyerahkan ketentuan besaran DP untuk kepemilikan rumah pertama kepada kebijakan masing-masing bank dengan tetap memperhatikan risiko.
Di sisi lain, Retno berharap perbankan di Indonesia bisa lebih efisien sehingga bisa menurunkan Margin Bunga Bersih (Net Interest Margin/NIM) yang masih relatif tinggi.
"Kami, di BI, masih melihat ada beberapa hal yang bisa diefisienkan maka potensi kenaikan suku bunga kredit bisa lebih rendah dari kenaikan suku bunga acuan," ujarnya.
Dari sisi permintaan, lanjut Retno, peluang percepatan laju pertumbuhan KPR di Indonesia masih terbuka lebar. Pasalnya, tingkat utang rumah di Indonesia masih tergolong rendah.
Hal itu tercermin dari Debt to Service Ratio (DSR) Rumah Tangga Nasional yang masih sekitar 10,96 persen atau kurang 30 persen yang merupakan ambang batas risiko.
Sebagai catatan, DSR merupakan perbandingan antara jumlah cicilan dan bunga dibagi dengan total penghasilan utama yang dikurangi oleh beban terkait penghasilan.
"DSR masih rendah. Artinya, kemampuan rumah tangga untuk melakukan kredit konsumsi atau KPR masih sangat tinggi dan itu bisa menjadi peluang bagi kita untuk memicu.
Tak ayal, porsi KPR di Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah.
Jika dibandingkan dengan negara lain, rasio KPR terhadap PDB di Indonesia pada tahun lalu hanya 2,9 persen. Sebagai pembanding, rasio KPR terhadap PDB di Singapura mencapai 44,8 persen, Malaysia 38,4 persen, Jepang 33,7 persen, Korea Selatan 26,8 persen, dan Thailand 22,3 persen.
Di tempat yang sama, Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Budi Satria menyatakan perseroan tengah berancang-ancang untuk mengerek suku bunga KPR sebesar 0,25 persen. Hal itu dilakukan untuk menjaga NIM perseroan di kisaran 4,5 hingga 4,6 persen.
"Selama enam bulan terakhir kami belum menaikkan suku bunga," ujarnya.
Budi mengungkapkan menaikkan suku bunga sebenarnya merupakan pilihan terakhir bagi perbankan, karena akan berpengaruh pada rasio kredit bermasalah. Namun, perseroan juga perlu memperhatikan kondisi likuiditas.
Berdasarkan hasil simulasi perseroan, lanjut Budi, kenaikan suku bunga KPR sebesar 0,25 persen akan meningkatkan beban cicilan kurang dari Rp100 ribu per bulan bagi nasabah, dengan asumsi rata-rata pinjaman sebesar Rp200 juta hingga Rp300 juta untuk jangka waktu 10 hingga 15 tahun.
"Jadi tambahan cicilan masih tidak terlalu berat," ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Perundang-undangan dan Regulasi Properti RealEstate Indonesia (REI) Ignesjz Kemalawarta menilai proyeksi pertumbuhan kredit KPR BI cukup realistis melihat perkembangan bisnis properti yang mulai menggeliat. Terlebih, permintaan untuk rumah tapak juga masih tinggi, terutama dari generasi muda.
"Pertumbuhan sektor properti tahun ini bisa di atas 10 persen," ujarnya. (lav)
Baca Di sini https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180731144451-78-318400/meski-bunga-naik-bi-yakin-kpr-bisa-tumbuh-134-persen-2018
No comments:
Post a Comment