Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua KSSK mengatakan tantangan dan risiko dari luar negeri masih berasal dari arah kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menerapkan kebijakan proteksionisme dan perang dagang dengan China.
"Sebagai akibatnya, terjadi perlambatan dan ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi global yang berdampak negatif terhadap perekonomian domestik," ucap Ani, sapaan akrabnya, di Kementerian Keuangan, Kamis (1/11).
Tantangan dan risiko dari dalam negeri datang dari berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah dan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD), serta tingginya ketergantungan pada ekspor komoditas tertentu.
Meski begitu, ia mengklaim kondisi ekonomi masih cukup terkendali karena beberapa indikator masih cukup sehat. Hal itu dianggap bisa sedikit meredam dampak dari berbagai tekanan yang ada.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 5 persen dan inflasi masih di rentang target sebesar 3,5 persen.
"Selain itu, cadangan devisa berada di level yang memadai, volatilitas nilai tukar yang terkendali, serta defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih baik. Tercermin dari keseimbangan primer yang lebih baik dari periode sebelumnya," jelasnya.
Lebih rinci, dari sisi kebijakan fiskal, ia mengklaim penerimaan negara yang tumbuh positif dan belanja yang efisien menunjukkan pengelolaan APBN baik. Alhasil, dapat turut menambah kepercayaan investor kepada Indonesia.
Ia mencatat realisasi penerimaan negara mencapai 69,26 persen dari target, belanja negara 68,11 persen. Hal ini membuat defisit anggaran terus menyusut dan masih di kisaran 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, ia memperkirakan prospek defisit anggaran hanya sekitar 1,83 persen terhadap PDB pada akhir tahun ini.
"Pemerintah juga terus melakukan kebijakan peningkatan daya saing dan promosi ekspor untuk memperbaiki masalah struktural neraca perdagangan," terangnya.
Sektor Moneter Diklaim Tetap Baik
Dari sisi kebijakan moneter, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengklaim kondisi pasar uang dan surat utang Indonesia tetap baik, terlihat dari masih adanya ketertarikan investor asing untuk masuk ke Tanah Air. Menurutnya, hal ini tak lepas dari kebijakan BI yang menaikkan tingkat suku bunga acuan BI (7 Days Reverse Repo/7DRRR) mencapai 150 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen.
"Kenaikan ini bukan karena inflasi, tapi untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan Indonesia, sekaligus untuk menurunkan defisit transaksi berjalan," ucapnya.
Di sisi lain, ia mengatakan kondisi pasar uang Indonesia masih cukup baik karena BI terus bekerja sama dengan sesama bank sentral negara lain. Misalnya, kebijakan terbaru, BI bekerja sama dengan bank sentral Singapura untuk melakukan swap and repo arrangements senilai U$10 miliar. BI juga bekerja sama dengan bank sentral Jepang untuk Bilateral Swap Arrangement (BSA) dengan nilai mencapai US$22,76 miliar.
"Jadi sekarang BI sudah punya kerja sama swap dengan Korea, Australia, Jepang dan Singapura. Kami tinggal tahap akhir untuk kerja sama dengan China," ungkapnya.
Dari sisi jasa keuangan, Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengklaim kondisi jasa keuangan cukup baik karena fungsi intermediasi terus berjalan, risiko kredit dan pembiayaan yang terkendali, serta kapasitas permodalan yang memadai.
Hal ini tercermin dari dari pertumbuhan kredit sebesar 12,69 persen secara tahunan pada September 2018. Lalu, rasio permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang masih sekitar 23,03 persen pada kuartal III 2018 dengan Rish Based Capital (RBC) untuk asuransi umum dan jiwa, masing-masing sebesar 315 persen dan 430 persen.
Kemudian, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross bank sebesar 2,66 persen dan rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) sebesar 3,17 persen.
"Artinya pertumbuhan kredit baik, CAR dan NPL masih terjaga, efisiensi cukup baik. Meski kami lihat, kondisi likuiditas mengetat, tapi buffer likuiditas terjaga," katanya.
Sementara itu, dari sisi penjaminan simpanan, Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan tren kenaikan suku bunga deposito atau simpanan masih sejalan dengan kenaikan bunga acuan bank sentral nasional.
LPS mencatat rata-rata suku bunga deposito berdenominasi rupiah dari 62 bank sudah naik 42 bps menjadi 5,9 persen. Sementara bunga deposito berdenominasi valuta asing (valas) dari 18 bank naik 33 bps menjadi 1,1 persen.
"Penyesuaian suku bunga simpanan terhadap kenaikan suku bunga acuan diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa saat ke depan," pungkasnya. (uli/lav)
Baca Di sini https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181101163120-532-343259/kssk-klaim-ekonomi-ri-terkendali
No comments:
Post a Comment