Dengan pergerakan itu, harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini belum mampu bangkit pasca kemarin anjlok sebesar 3,5% lebih. Alhasil, harga CPO mencetak rekor terendah dalam 39 bulan terakhir, atau sejak akhir Agustus 2015.
Selain faktor permintaan yang impor yang loyo, harga CPO juga tertekan oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang secara sementara menghapuskan pungutan ekspor minyak kelapa sawit.
BACA: Gara-Gara RI Bebaskan Pungutan Ekspor, Harga CPO Amblas 3,5%
Ekspor produk minyak kelapa sawit Malaysia dilaporkan turun 2,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,04 juta ton pada periode 1-25 November, berdasarkan survei kargo yang dilakukan Intertek Testing Services.
Dari survei lainnya yang dilakukan oleh Societe Generale de Surveillance (SGS), ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran juga tercatat melemah 1% MtM ke 1,07 juta ton di periode yang sama.
Kedua hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran belum mampu pulih pasca melemah sebesar 14,1% MtM pada bulan Oktober. Lesunya permintaan ini lantas mengonfirmasi kekhawatiran pelaku pasar akan permintaan yang loyo pada menjelang akhir tahun 2018.
Penyebab lesunya permintaan adalah stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) yang sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.
Kemudian, sentimen negatif yang menjadi risiko besar bagi harga CPO adalah kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0 per ton alias dinolkan, menyusul harga komoditas ini yang merosot.
Adapun, mekanisme pungutan ekspor yang diputuskan oleh Komite Pengarah BPDP-KS adalah sebagai berikut:
Selama ini, adanya pungutan ekspor di Indonesia telah membantu harga CPO made in Malaysia lebih kompetitif.
Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan, atau minimal setara, dibandingkan dengan produsen di Malaysia. Alhasil, situasi ini berpotensi membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan.
Berita baiknya, pelemahan harga CPO hari ini masih lebih ringan daripada koreksi dalam pada perdagangan kemarin. Harga CPO nampaknya sudah terlalu murah, sehingga membuat investor melakukan aksi beli (technical rebound). Sepanjang bulan November, harga CPO sudah melemah sebesar 8% lebih. Adapun, di sepanjang tahun 2018, harganya sudah ambrol sebesar 21% lebih.
Harga CPO juga sudah jatuh ke level yang dekat dengan biaya produksi perkebunan di Malaysia. Alhasil, hal ini dapat memaksa produsen untuk mengurangi penjualannya demi mencegah kerugian yang terlalu besar. Situasi ini kemudian berpotensi mengurangi pasokan ke pasar, dan akhirnya mampu sedikit menopang harga CPO pada hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)</span>
(RHG/gus)
No comments:
Post a Comment