Angkutan umum memang tak menggunakan Pertalite, melainkan Premium. Namun, harga Pertalite yang mahal menyebabkan konsumennya beralih membeli Premium yang lebih murah, akhirnya persaingan semakin ketat.
Jika sedang sial, supir angkutan umum kehabisan pasokan premium di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) langganan dan harus membeli Pertalite yang harga yang lebih mahal. Konsekuensinya, beban operasional yang membengkak menyebabkan penghasilan harian tersunat, mengingat biaya bahan bakar tidak ditanggung pemilik angkutan.
Keluhan tersebut diungkapkan oleh Darwin Tampubolon (61). Pria asal Medan, Sumatera Utara ini biasa mangkal di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Supir angkot 106 jurusan Parung - Lebak Bulus ini mengungkapkan sehari-hari mengisi bahan-bakar premium di beberapa SPBU langganan. Namun, beberapa kali ia kehabisan. Akibatnya, ia terpaksa harus membeli Pertalite.
"Mencari premium sekarang susah, kadang tidak dapat," keluh Darwin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/3).
Dalam sehari, Darwin mengisi bahan bakar premium sebanyak 30 liter atau senilai Rp196.500 (harga premium Rp6.550 per liter). Jika dalam sehari ia tidak mendapatkan premium dan menggantinya dengan Pertalite, ia harus membayar Rp234.000 atau Rp37.500 lebih banyak mengingat harga Pertalite kini Rp7.800 per liter.
"Biasanya, dalam sehari paling saya hanya mengantongi Rp50 ribu," ujarnya.
Menurut Darwin, pemerintah seharusnya mengatur agar mobil pribadi tidak membeli premium. Dengan demikian, pasokan premium untuk moda transportasi umum masyarakat bisa terjamin.
"Premium jangan dikasih ke mobil pribadi. Mobil pribadi kan kalau mengisi tidak kira-kira,"ujarnya.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh Randiato (65). Pria yang telah puluhan tahun menjadi supir angkot jurusan Petukangan - Lebak Bulus ini mengeluh karena harga Pertalite naik Rp200 per liter sejak akhir pekan lalu.
"Dalam sehari saya mengisi 40 liter. Rp200 per liter dikali 40 sudah Rp8.000 lebih mahal,"ujarnya.
Di saat bersamaan, lanjut Randiato, jumlah penumpang angkot kini makin menipis akibat kalah saing dengan moda trasportasi daring.
"Kami kan sekarang kalah sama ojek online," keluhnya.
Sementara, para sopir bus metromini di Terminal Blok M tak terpengaruh dengan kenaikan Pertalite. Salah satu supir metromini, Adi Muchtar (59), mengungkapkan hampir semua bus kota ukuran sedang menggunakan solar.
"Kalau kami pakai premium, mesin kami malah akan hancur," ujar supir metromini 69 jurusan Ciledug - Blok M ini.
Adi mengaku tidak kesulitan mendapatkan solar karena sudah mengetahui SPBU yang menjual solar. Namun demikian, ia berharap pasokan solar bisa terus aman dan harga solar bisa terus dijaga agar tidak naik.
(lav/bir) Baca Di sini https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180327143042-85-286259/kenaikan-harga-pertalite-bikin-nasib-supir-angkot-terpuruk
No comments:
Post a Comment